Kisah Tauladan



Selama 18 tahun, setiap musim hujan anak-anak usia sekolah dasar di Grumbul Panggangsisik, Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten terpaksa berjibaku dengan petir dan jalanan licin agar bisa mengenyam pendidikan.

Sekolah terdekat dari rumah mereka berjarak tiga kilometer yakni di pusat Desa Bojong dan pusat Desa Bringkeng, sementara ke pusat Kecamatan Kawunganten sekitar empat kilometer.

Warga RT 5 RW 6, Desa Bojong, Bogini menjelaskan anak-anak di Grumbul Panggangsisik sejak dulu sudah terbiasa menempuh jarak jauh dalam menuntut ilmu.

"Saat kemarau seperti sekarang, jarak tiga hingga empat kilometer bukan masalah berarti. Namun ketika hujan, anak-anak harus berjalan ekstra hati-hati melewati pinggir saluran irigasi yang dimanfaatkan sebagai jalan," katanya, Senin (24/9).

Bogini mengatakan, tahun 2009 barulah ada sekolah swadaya di wilayah itu yang dibangun atas prakarsa Kyai Mukhlas dengan bantuan warga setempat. Menurutnya sampai sekarang gedungnya masih sangat sederhana dan hanya memiliki dua ruang kelas.

Sementara, Kyai Mukhlas saat ditemui di kediamannya, RT 4 RW 6, Grumbul Panggangsisik, Dusun Nusadadi, Desa Bojong menjelaskan, wacana pendirian sekolah sudah muncul sejak 1995 namun baru terealisasi tiga tahun lalu.

Ia mengatakan, pada 1995 sempat mengajukan usulan agar SD Negeri 2 Bojong membuka cabang di grumbul itu. Tetapi, kepala sekolah tidak sanggup mendatangkan guru, menurutnya akses jalan ke Panggangsisik dulu juga masih banyak yang terputus.

"Tahun 2009 kami bisa mengadakan sekolah bagi anak-anak di sini, itu pun masih nunut  di rumah-rumah warga yang menjadi tenaga kerja di luar negeri. Setahun lalu barulah bangunan berdiri, namun hanya untuk kelas satu, dua dan tiga, jumlah pelajar kini mencapai 50 orang," ujarnya.

Sementara siswa kelas empat belajar di emperan Masjid Al Qomar. Mukhlas menjelaskan jam belajar anak-anak dimulai pukul 07.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB. Ia menambahkan, saat ini pengajar di sekolah itu baru berjumlah tiga orang dengan honor Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu per bulan.

"Saya asli Lebeng, Kesugihan dan baru menetap di Bojong tahun 1990. Saat itu banyak anak di wilayah ini yang tidak lulus SD dengan alasan jarak ke sekolah jauh. Alasan jarak pulalah yang membuat orang tua menyekolahkan anak mereka di usia delapan tahun," katanya menambahkan.

Ia bercerita, saat itu jalan menuju kediamannya belum bisa dilewati kendaraan bermotor dan sepeda pun terkadang harus diangkat. Setiap hujan daerah Panggangsisik dipastikan akan kebanjiran.

Mukhlas mengungkapkan, pendirian sekolah swadaya itu murni untuk membantu masyarakat sekitar. Selain dari Grumbul Panggangsisik, pelajarnya juga berasal dari Grumbul Cangkring, Grumbul Robyong serta dari pinggiran Desa Bringkeng.

"Jika diuangkan, biaya pengurukan tanah mencapai Rp 20 juta dan sampai sekarang masih banyak kebutuhan sekolah yang belum terpenuhi. Karena lahan wakaf terbatas, kami juga terkendala dalam menambah ruang kelas baru," ujarnya.

Pemetaan pendirian sekolah di wilayah itu pun terkesan carut marut, sebab pantauan di lapangan menyebutkan letak SD Negeri 2 dengan SD Negeri 7 Bojong sangat dekat dan saling berhadapan. Dulu di lokasi yang sama juga ada SD Negeri 1 namun akhirnya di pindah.

Saat persoalan distribusi sekolah dasar hendak dikonfirmasikan ke Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Tulus Wibowo SH SPd MSi, yang bersangkutan mendelegasikan penjelasan ke Kepala Bidang Pendidikan Dasar, Sarwono.

- jo










Comments

Popular posts from this blog

Limfa Terbalik, Perut Yesika Membesar

Selayang Pandang Majelis Rakyat Cilacap